Jakarta (RM-FPRM) - Agar ambisinya cepat tercapai sebagai anggota Dewan, berbagai trik dan cara untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat pada saat-saat kampanye pun gencar dilakukan. Mulai dari obralan janji manis yang katanya akan memperjuangkan kepentingan rakyat, bicara soal moral, omong keadilan, bahkan lantang berbicara tentang pentingnya idealisme. Tapi ironisnya, serangkaian ungkapan tersebut tak lebih hanya merupakan hal yang klise.
Kenapa, saat ambisinya tercapai, yakni berhasil menjadi seorang anggota dewan yang tehormat, ternyata janji tinggal lah janji. Mereka seolah lupa dengan apa yang telah diamanahkan oleh para pemilihnya saat masa-masa kampanye.
Begitu mudahnya mereka masuk angin. Mereka tak sadar kalau jabatan yang disandang itu merupakan amanah dari rakyat yang harus diemban. Utamanya untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongannya.
Mengacu serangkain cerita diatas, rasanya masyarakat cenderung pesimis, jika para anggota dewan yang terhormat itu secara hati nurani mampu memperjuangkan nasib rakyatnya.
Kenapa demikian, sementara memperjuangkan hal yang sifatnya berskala kecil saja mereka tidak tanggap. Misalnya, peristiwa mengenaskan yang dialami oleh 6 (enam), orang siswa Sekolah Menengah Kejuruan, yang mana para anggota dewan tega membiarkan nasib mereka keleleran di gedung megah DPR RI.
Belum lama ini, saat ke-enam pelajar SMK 13, Jakarta Barat itu mengerjakan tugas Praktek Kerja Lapangan (PKL), di gedung DPR RI Senayan, mereka mengaku tidak mendapatkan makan dan transfort dari bapak dewan. Selama satu bulan para pelajar itu menahan lapar. Sebagai bahan pengalaman agar perutnya tak melilit lagi, mereka terpaksa membawa bekal nasi dari rumahnya masing-masing. "Entah merasa iba dan kasihan saat melihat perut teman-teman saya lapar. Ada petugas keamanan Amdal yang kesehariannya bertugas di gedung DPR RI itu, terkadang membelikan kami nasi," ujar salah seorang siswa yang enggan disebutkan identitasnya.
Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan hal yang dialami Mawar (bukan nama sebenarnya), saat mengerjakan tugas PKL dikantor lembaga bantuan hukum (LBH), Mataram Indonesia di Palmerah, Jakarta Barat, ia dan teman-temannya mendapatkan pelayanan yang layak, dan perutnya pun tak dibiarkan lapar oleh pihak kantor tersebut.
Berbeda lagi pengalaman yang dialami para siswa SMIP di kawasan Cidodol, Kebayoran Lama, nasib mereka jauh mujur. Saat mengerjakan tugas PKL nya di instansi Administrasi Negara Jakarta, mereka mendapatkan sarana dan prasarana jauh lebih mumpuni jika dibandingkan dengan para pelajar di gedung DPR RI. Karena, selain fasilitas makan terjamin, mereka juga masih mendapatkan uang transfort Rp.150.000,- hingga Rp.170.000,- dalam sebulan.
Serangkaian cerita memilukan diatas merupakan potret ketidak pekaan beliau-beliau yang terhormat para anggota dewan dalam memperjuangkan nasib serta kepentingan rakyat. Meski, tak sedikit pula, anggota dewan yang masih memiliki hati nurani.(BMB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar